Cerita Inovatif Guru Bikin Aplikasi untuk Permudah Siswa Belajar

Mengingat proses pengajaran di masa pandemi harus dilakukan dari jarak jauh dengan memanfaatkan platform digital. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi banyak siswa, terutama dari keluarga miskin, karena berbagai faktor seperti kuota, gadget, dll.

 

Hal inilah yang membuat guru harus berpikir kreatif. Ari Prasetyo, guru Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesegaran (PJOK) di SMA Yayasan CT ARSA di Sukohaza, Jawa Tengah, telah membuat terobosan baru dalam dunia pendidikan.

 

Ari membuat inovasi aplikasi bernama Arsa Sport untuk memudahkan kegiatan belajar mengajar bagi siswa. Dikatakannya, siswa dapat dengan mudah mengakses konten PJOK kelas 10-12 hanya dengan menggunakan ponsel.

 

“Secara pribadi, selama pandemi saya membuat aplikasi di Android sebagai sumber belajar. Jadi anak-anak bisa mengaksesnya kapan saja, di mana saja. Dan bisa diunduh (materi) untuk menghemat kuota,” kata Ali, Jumat. 6/1).

 

Baca Juga : Jasa Publikasi Jurnal Internasional

 

Ali menjelaskan cara menggunakan aplikasi, siswa hanya perlu mengunduh file di website sekolah. Itu karena aplikasi Arsa Sport tidak memerlukan username dan password, anda tinggal memilih pelajaran dan materi yang ingin anda pelajari.

 

Aplikasi tersebut telah digunakan oleh pelajar sejak awal pandemi hingga saat ini. Bahkan, pihak sekolah berencana mengembangkan aplikasi ini.

 

Ari adalah satu dari puluhan guru di SMA Yayasan CT ARSA di Hajo, Suko, Jawa Tengah, yang mendapat bantuan fasilitas berupa laptop dari PT ASUS Indonesia (ASUS).

 

Ia mengaku bersyukur karena di era digital saat ini, laptop sudah menjadi kebutuhan wajib bagi para guru. Ali mengatakan akan menggunakan laptopnya untuk mencari sumber belajar bagi siswanya dan berhubungan dengan guru di bidang lain untuk menambah pengetahuan mereka.

 

Sementara itu, Ridduwan Agung Asmaka, guru SDN Reda Meter di Desa Kadueta, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), memilih menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi para siswa.

 

Agung, seorang guru relawan Pijar (Teaching Go), ditunjuk sebagai perpanjangan tangan Yayasan CT ARSA untuk menyinari sektor pendidikan di wilayah tersebut.

 

Ia mempersiapkan pendekatannya sendiri untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada anak-anak sebelum berangkat untuk menjalankan Program Pijar CTARSA Foundation.

 

“Karena saya akrab dengan dongeng, pantomim, dan matematika, saya menggunakan hal-hal itu dengan anak-anak,” jelasnya.

 

Dalam mengajarkan pelajaran tertentu, ia menggunakan seni pantomim, pertunjukan gestur berupa mimik wajah atau gestur sebagai dialog. Menurutnya, melalui tindakan ini anak akan merasa senang dalam proses belajar dan tidak merasa bosan.

 

“(Reaksi mereka) sangat senang karena itu sesuatu yang baru. Selain itu, pantomim digunakan saat menjelaskan di kelas,” ujar pria asal Bojonegoro ini.

 

Pendiri sanggar GatDa (Semangat Muda) itu menjelaskan bahwa pendekatan ini juga membantunya menghadapi bahasa daerah yang masih kental bagi sebagian muridnya. Dengan demikian, metode pembelajaran ini menjadi lebih menyenangkan dan juga membantu mereka yang masih belum bisa berbahasa daerah.

 

“Tantangan mengajar di sini adalah bahasa SD kelas 1-3. Jadi anak-anak kelas 1-3 masih mengenal bahasa daerah. Tapi untungnya SD sudah terbiasa dengan tamu dari luar kota. bisa membiasakan Bahasa Indonesia, meski terkadang tidak sinkron saat mengajarkannya,” kata Agung.

 

Sebagai informasi, SDN Reda Meter miliknya merupakan salah satu sekolah penerima bantuan laptop dari ASUS Indonesia. Agung mengaku kini senang bisa menggunakan laptopnya untuk mengajar anak-anak.

 

“Laptop sangat membantu dalam mengenalkan dunia digital kepada anak-anak, kita bisa menggunakan laptop dan menonton video untuk belajar,” ujarnya.

 

Yurni (11 tahun), siswa SD di Dusun Reda Meter, Desa Kadu Eta, Kecamatan Kodi Utara, Pulau Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus bekerja keras untuk menimba ilmu. Untuk mewujudkan mimpinya menjadi polisi wanita, ia harus rela masuk jauh ke dalam hutan.

 

Setiap hari, ia dan ketiga temannya berjalan kaki sejauh 3 kilometer ke sekolah dari rumahnya di Dusun Pemutuingi, Desa Magho Linyo. Bertelanjang kaki, ia terbiasa menyusuri jalan terjal tak beraspal di tengah hutan menuju sekolah.

 

“Kalau bangun pagi, mandi lalu pergi, hutan masih gelap. Kalau berangkat belum ada matahari,” ujar siswa kelas enam ini baru-baru ini.

 

Dalam kondisi seperti itu, peserta didik SDN Reda Meter tetap semangat untuk menimba ilmu. Apalagi dengan bantuan 5 laptop dari ASUS Indonesia, ia mengaku senang bisa mengenal perangkat teknis tersebut.

 

“Sudah dapat laptop, bisa ketik nama tadi, senang, bisa belajar,” kata Yurni.

 

Sementara itu, Paulina Pati Bebe, Kepala SDN Reda Meter mengaku bersyukur bisa memiliki laptop tersebut. Sebelumnya, siswa di SDN Reda Meter harus meminjam laptop dari sekolah lain untuk keperluan belajar yang mengharuskan penggunaan perangkat laptop.

 

“Saya sangat berterima kasih, terutama ASUS Indonesia yang sangat peduli dengan kami,” ucapnya.

 

Perwakilan Asus Indonesia Firman menjelaskan pihaknya ingin membantu sekolah menjadi lebih tech-savvy. Tidak hanya di kota-kota besar, pihaknya berharap bisa menjangkau sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia.